Manisnya Rokok

Rokok, Haram, Halal, dan perlunya analisa fiqh ekonomi – sosial.

Sudah bukan berita hangat lagi isu pengharaman rokok dihembuskan,

hembusan isu ini sudah sejak dahulu,

Sejak belasan tahun yg lalu.

Diperkuat oleh fatwa haram rokok buah dari sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.

Juga oleh Muhammadiyah baru2 ini.

Meski pada akhirnya, MUI menyepakati secara bulat bahwa hukum haram merokok hanya berlaku untuk tiga kondisi yaitu, Anak-anak di bawah 17 tahun, wanita hamil, dan orang yang merokok di tempat umum. Selebihnya hukum merokok adalah makruh.

Saya bukan dokter, dan tidak akan membahas dari sisi kesehatan.

Tapi ada sudut pandang menarik,

Mengapa isu pengharaman rokok ini selalu melibatkan ‘orang2’ yang berhubungan mesra dengan Negara2 yg memiliki kepentingan untuk ini.

Mengapa dilapangan, yang begitu gencar mengharamkan adalah muslim yang berpola fikir ekstrim (wa*abi)?

Mengapa yang getol berkampaye adalah organisasi2 yang mesra dengan organisasi liberal barat?

Rokok adalah *hal yang paling seksi* yang dimiliki indonesia, mulai dari tenaga kerjanya, pendapatan perkapitanya, harga bahan baku tembakau yg murah meriah, dan harga jual konsumen yg cukup menggiurkan!

Ini jelas sesuatu yg lezat bagi pemain saham kelas dunia.

Lewat isu agamalah satu2nya cara yg paling empuk untuk mendapatkan saham2 itu.

Dengan fatwa haram, maka rakyat indonesia perokok aktif yg mayoritas muslim, mereka berasumsi, sebagian akan meninggalkan kebiasaan merokoknya. Mereka berfikir pada akhirnya Rokok kurang diminati,

Penjualan Petani tembakau akan mengeluh karena nilai jualnya yg menurun,

Disaat perusahaan rokok pontang-panting, datanglah para ‘penyelamat’ yg menawarkan saham dengan berbagai tawaran menggiurkan. Dalam kacamata bisnis apabila ada pembelian saham maka akan masuk dana yang ‘menyembuhkan’ keuangan.

Namun dalam kacamata kebangsaan itu adalah cekikan keji yg sistematis.

Dalam kacamata fiqh sosial, Indonesia memiliki tanggungan sosial-ekonomi.

Ada 6,2 juta keluarga yg bergantung hidup dari rokok, mulai dari petani hingga karyawan industri ;

Jika asing mendominasi saham.

Maka jangan harap ada hal2 yg menguntungkan untuk petani tembakau sampai tenaga kerja.

Salah satunya British American Tobacco yang mengakuisisi 60 persen saham Bentoel Group, produsen rokok terbesar kedua di Indonesia.

Dilapangan, saya lihat org2 “ekstrim” tersebut begitu gencar meracuni masyarakat dengan fatwa haramnya.

gerakannya begitu sistemis dan masif sehingga bisa sampai ke meja Majelis Ulama Indonesia yang seharusnya melindungi 95 persen dari 6,2 juta pekerja di pabrik rokok yg beragama Islam. Ini tanggungan fiqh ekonomi-sosial.

Jangan tutup mata!

Entah, siapakah yang dibayar dan dimanfaatkan untuk kondisi sosial seperti ini.

Yg jelas, yg saya ketahui.

British American Tobacco adalah perusahaan raksasa yang juga salah satu penyuplai dana untuk organisasi2 seperti Al-Qaeda dan ISIS.

Orang2 banyak luput dari analisa seperti ini.

Rokok, pajak, modal, tenaga kerja, dan Indonesia,

Sungguh koalisi yang mesra.

untuk dijajah….oleh mereka (lagi)

Leave a comment